Kata-kata Emas
Saya masih sangat ingat dengan sebuah peristiwa lama. Sore
itu saya sedang berjalan-jalan dengan taksi mencari alamat seorang teman di
Kota Jakarta, tapi hal itu tidak terlalu mendesak. Saya berpenampilan sangat casual saat itu. Si supir taksi tidak tau
alamat yang saya berikan kepadanya dari awal, tapi mengaku tau. Akhirnya saya
turun dan marah-marah. Saya nyaris tidak mau membayar tarif argo taksi si supir
sembrono dan pembohong itu.
Perjalanan saya lanjutkan dengan berjalan kaki
sambil menikmati konstruksi arsitektur rumah-rumah di sekitar. Entah kenapa
saya jadi tertarik pada salah satu rumah bagus di sana dengan kaca gelap yang
tembus pandang. Jadi, saya berhenti beberapa saat sambil memperhatikan rumah
tersebut dari depan pagarnya. Tidak taunya dari rumah itu keluar seorang nyonya
muda. Dengan penuh kecurigaan ia menanyakan maksud saya berhenti di depan
rumahnya. Dengan apa adanya saya pun menjawab bahwa saya mengagumi interior
rumahnya yang bagus. Ia kelihatan tidak menerima jawaban saya dan mulai agak
membentak: “Kalau bagus mau apa, kalau jelek mau apa? Kurang kerjaan ih!”
Dengan agak keteteran dan kaget saya menerangkan bahwa saya
hanya mengagumi interior dan design rumahnya tanpa bermaksud di luar itu.
Tetapi ia tetap bersungut-sungut. Dengan wajah cemberut dan tidak bersahabat ia
lalu meninggalkan saya dengan satu kali hempasan pintu. Saya pun melongo dengan
tampang heran melihat perlakuan nyonya muda yang kasar itu. Bukan saja karena
kekasarannya, tapi juga karena saya merasa familiar dengan wajahnya si nyonya
muda. Rasanya saya pernah bertemu dia entah dimana sebelumnya. Saya seperti
kenal betul dengan suarannya dengan logat Jawa dan tampangnya yang galak itu. Karena
tak berhasil mengingat sesuatu tentang si nyonya, akhirnya saya pun meneruskan
perjalanan.
Pada waktu yang sama, tiba seorang laki-laki setengah baya. Ia hendak membuka pagarnya dari luar.
Pada waktu yang sama, tiba seorang laki-laki setengah baya. Ia hendak membuka pagarnya dari luar.
Dengan cepat saya langsung menanyakan
kepadanya tentang siapa nama tuan dan nyonya di rumah tadi itu. Laki-laki
tersebut ternyata adalah supirnya yang lalu menyebutkan nama tuan dan
nyonyanya. Barulah saya ingat bahwa si nyonya galak tadi adalah Rani, mahasiswi
senior di Universitas Indonesia yang pernah dengan galaknya membentak teman
saya di depan umum pada saat ospek.
Ya itu pasti dia. Tapi ya sudahlah, untuk apa memikirkan orang yang tidak habis-habis galaknya! Saya meneruskan perjalanan sambil menanyakan alamat yang sedang saya cari. Ternyata tidak orang yang bisa menolong. Karena tujuan saya menjadi tidak menentu dan kelihatannya saya semakin jauh tersesat dalam kompleks itu, akhirnya saya putuskan untuk kembali lagi ke awal dari perjalanan saya. Saya lewati kembali rumah si nyonya galak tadi. Kali ini ia berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Supir tadi. Mobil sedang siap-siap mundur untuk keluar dari pintu pagar tempat saya dibentak.
Ya itu pasti dia. Tapi ya sudahlah, untuk apa memikirkan orang yang tidak habis-habis galaknya! Saya meneruskan perjalanan sambil menanyakan alamat yang sedang saya cari. Ternyata tidak orang yang bisa menolong. Karena tujuan saya menjadi tidak menentu dan kelihatannya saya semakin jauh tersesat dalam kompleks itu, akhirnya saya putuskan untuk kembali lagi ke awal dari perjalanan saya. Saya lewati kembali rumah si nyonya galak tadi. Kali ini ia berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Supir tadi. Mobil sedang siap-siap mundur untuk keluar dari pintu pagar tempat saya dibentak.
Tapi sekejap saja rasa penasaran saya timbul. Kali ini saya
mau mencoba lagi menyapanya sambil siap-siap untuk dimaki-maki. Kepalang udah
dibentak, biar sekalian dimaki-maki deh, demikian pikir saya. Mobil tersebut
pun saya hampir, kemudian saya melongok ke jendela tempat si nyonya galak itu
duduk. Saya membuka pertanyaan: “Apakah benar kamu ini Rani?” Ia tertegun
beberapa saat. Matanya yang tadinya mau mulai keluar lagi menjadi berhenti
sejenak. “Siapa kamu?”tanyanya ragu-ragu. Saya lalu menjelaskan bahwa dulu kami
pernah bertemu, tepatnya pada saat ospek. Saya juga bilang bahwa ia sempat
dijuluki “Nyi Roro Kidul” karena galaknya terhadap cama-cami (sebutan untuk mahasiswa baru). Mendengar itu, ia lalu
turun dari mobilnya. Saya sempat memasang kuda-kuda karena responnya itu,
karena saya pikir ia akan memaki-maki saya lagi atau bahkan menampar saya
dengan wajah penuh kekesalan. Tapi ternyata tidak, dengan tersenyum ia
menyalami saya sambil dengan hangat menebak nama saya. Benar! Rencana
kepergiannya ke dokter sore itupun ditundanya. Saya diundangnya untuk masuk dan
ngobrol di dalam rumahnya.Kisah ini melukiskan bahwa
Rani yang terkenal galak sekalipun masih bisa mencair hatinya ketika saya
memanggil dengan namanya, ditambah dengan julukan khasnya “Nyi Roro Kidul”.
Coba bayangkan ini.
Pada sebuah acara besar yang Anda hadiri, Anda bertemu dengan teman SD yang sudah sekitar 10 tahun tidak bertemu dengan Anda. Lalu pada saat itu tiba-tiba saja ia berteriak dengan suara keras dan memanggil nama Anda, atau mungkin julukan Anda pada saat di sekolah dasar waktu itu. Kira-kira bagaimana perasaan Anda?
Bohong jika Anda menjawab, "Apalah arti dari sebuah nama -___-"
Bagikan pengalaman Anda kepada semua sahabat dalam blog ini dengan berkomentar di comment box yang telah disediakan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar